Tulisan/Artikel dan Karya Sastra di Kompasiana Menganut Paham Eufemisme?
Dalam satu tahun terakhir ini ada semacam kegelisahan yang maha ketika berulangkali kita temukan berbagai macam
postingan
di media jurnalis warga Kompasiana di tulis dengan terburu-buru
(mengejar jam tayang?). Baik itu berupa penayangan tulisan prosa maupun
puisi pada rubrik fiksi maupun pada rubrik-rubrik lainnya. Kalau boleh
kita katakan bahwa belantara kata-kata yang melintas diberbagai rubrik
itu sedang mengalami masa-masa kritis dalam bentuk karya dan krisis
dalam bentuk pengembaraan kata-kata.
Mengapa masuk dalam fase kritis ? Mengapa pula masuk dalam fase krisis ?
Fase kritis yang dimaksudkan disini yakni berupa ketidakmampuan
mengenali sastera dengan baik. Ada sebuah kecenderungan yang tak elok
ketika pemahaman sastra itu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
nikmat. Apakah karena pemahaman penulisnya sangat sederhana ? Apakah
juga penulisnya telah mengenal sastra dengan baik ? Dalam pengembaraan
jagad sastra di Kompasiana nyaris tidak pernah lagi kita temukan karya
sastra yang indah, penuh dengan sopan santun estetika dan enak untuk
dinikmati serta mengajak penikmatnya kedalam realitas yang kontemplatif.
Kenapa demikian ? Apakah dikarenakan ruang-ruang kontemplatif itu telah
direbut oleh verbalisasi obyek-obyek audio visual dimana kehadirannya
nyaris tak dapat ditolak dan ditawar-tawar lagi ?
Ibarat tubuh, belantara sastra juga membutuhkan asupan gizi yang cukup
memadai untuk dapat terus tumbuh dan berkembang. Sastra di Kompasiana
dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini perkembangannya sedang
berhadapan dengan segala macam pergesekan yang maha kompleks. Sangat
dibutuhkan vitamin pengetahuan sastra yang cukup dari penulisnya agar
energi dalam karya sastra yang dituliskan lebih terasa bagi pembacanya.
Kesemuanya itu tak lain untuk membuat agar sastra itu tetap sehat
wal’afiat. Agar semakin tegar dalam segala tantangan jaman. Namun, dari
kenyataan yang ada justeru yang terjadi adalah sebaliknya. Kepribadian
sastra yang melintas di Kompasiana dihancurleburkan oleh penulisnya.
Dengan pengertian lain sastra di Kompasiana yang sejatinya harus menjadi
“mata pisau” bagi pembaca ternyata hal itu tidak kita temukan sama
sekali. Jika ada tidak lebih dari hanya sekadar pemuas syahwat
penulisnya untuk sekadar dibaca dan berhahahahahihihih dengan berbagai
komentar dan atau tanggapan pada karya sastranya. Untuk maksud tersebut
sangat dibutuhkan perbaikan kadar gizi (pengetahuan sastra) yang cukup
dari penulisnya untuk meghindarkan diri dari berbagai macam polusi
kata-kata yang bisa saja merusak sastra itu sendiri.
Manisfestasi bersastra sejatinya (secara langsung) seharusnya dapat
menemukan realitasnya yang konkrit, yakni berupa hubungan persaudaraan
yang akrab, kedamaian batin yang menyejukkan, dan menjadi identitas bagi
suatu bangsa, serta berlangsung dalam suatu perjumpaan yang cenderung
kolektif walaupun perjumpaan itu hanya berada disebuah ruang terbatas di
jurnalis warga Kompasiana. Ada kecenderungan lain yang terjadi yakni
ketika karya tulis itu hanya bisa kita temui di Kompasiana dalam
pengertian yang terbatas ternyata semakin menyesakkan dada. Wacana
sastra tidak lebih dari hanya sebuah ajang curahan hati penulisnya,
mengkotakkan diri, sangat fragmentaris tanpa pernah disadari oleh
penulisnya. Akibatnya ? Bersastra pun tidak lebih dari sebuah
subyektifitas dalam wilayah kolektifnya. Kondisi ini sangat tidak bisa
dihindari dan mungkin tak perlu dihindari.
Eufemisme Sastra ala Kompasiana
Lahirnya budaya
‘eufemisme’ yang permisif serta cenderung apologis nyaris sama dan sebangun dengan sebuah
eufemisme
para politikus di dalam megapolitik, dan sosial kita. Seorang politikus
bisa saja mengatakan dan melemparkan sebuah kritikan yang lahir dari
gagasan berpolitiknya dengan tetap mempertahan kehalusan bahasanya.
Dengan kata lain dia mengapresiasi pula dengan baik setiap lontaran
masukan yang berhubungan dengan gagasan politiknya. Namun, di sisi lain
politikus tersebut tidak sepenuhnya untuk secara khusus memiliki
perhatian pada khazanah dunia perpolitikan politikus yang dikritisi
dengan pendekatan eufemism.
Bagaimana dengan penulis karya sastra ? Dalam kenyataannya pola
pengapresiasian penulis sastra maupun penikmatnya tidak lebih baik dari
pola apresiasi politikus yang ala-kadarnya itu. Bagaimanapun juga dalam
kenyataannya penulis sastra mengalami kesulitan dan persoalan baru yang
sangat mendasar dalam menerjemahkan karya tulisnya dalam rangka merebut
perhatian pembaca untuk mengapresiasi dengan baik dan benar setiap karya
sastra yang dipublikasikan.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada rubrik Fiksi ? Bagaimana dengan rubrik lainnya ?
Lagi-lagi terjadi sebuah situasi yang kritis dimana karya-karya sastra
yang dipublikasikan mengalami fase krisis karya yang bermutu. Telah
terjadi ketidakmerdekaan dalam setiap pemublikasian karya tulisnya.
Rasanya itu belum cukup. Ketika sebuah karya sastra mesti ngendon selama
berhari-hari bahkan berminggu-minggu di headline rubrik fiksi. Apakah
ini bisa dijadikan sebuah indikasi akan miskinnya karya-karya bermutu
dari pemasok penulis di Kompasiana ? Padahal tulisan yang merebut posisi
headline itu jika dicermati kadar kesusasteraannya belum bisa
dipertanggungjawabkan mutunya dengan kata lain masih jauh dari
pengharapan untuk dikategorikan sebagai karya sastra berkualitas yang
layak dibaca dan diapresisasi dengan baik oleh pembacanya.
Mungkin, ada pertanyaan yang sangat mengganjal dalam sanubari pembaca.
Apa parameter yang dipakai oleh pengelola jurnalis warga Kompasiana
hingga karya sastra yang masih jauh panggang dari api itu bisa
sedemikian lamanya bercokol di headline ? Apa yang sesungguhnya sedang
terjadi disini ? Apakah telah terjadi semacam pengkategorian dan
pengkotak-kotakkan penulis karya sastra ? Mungkin, ‘tuduhan’ ini terlalu
prematur.
Upaya-upaya pemasok tulisan di rubrik fiksi Kompasiana dalam
memperkenalkan karyanya sangat tidak terbatas. Ada ide, ada pengalaman
pribadi lalu menulis selanjutnya tinggal “klik” maka dengan serta merta
terpublikasilah karya tersebut. Celakanya karya-karya yang
dipublikasikan itu terkesan sangat jauh dari wilayah pergulatan bathin
secara esensial penulisnya yang dalam kenyataannya pula kadar pergulatan
bathinnya tersebut masih sangat jauh dari pengharapan penikmat karya
sastra. Ada suatu persoalan mendasar, bahwa sastra dan bersastra tidak
lagi merupakan tindakan yang memiliki otonomi dan independensi. Akbatnya
hanya karena sekadar ingin menyalurkan syahwat menulisnya seseorang
dengan sengaja atau tidak telah menciptakan karya sastra prematur.
Karya Sastra di Kompasiana telah terpolusi ?
Inilah yang dimaksudkan juga bahwa kondisi sastra sedang mengalami fase
yang kritis. Jagad sastra sedang dipenuhi dengan polusi kata-kata yang
besar-besaran. Namun, jika menilik dan mencermati satu persatu uraian
kata demi kata yang mengalir nyaris kita tidak temukan sebuah kedalaman
nilai estetik dalam karya sastra yang ditayangkan tersebut.
Dalam kondisi demikian, penulis karya-karya ’sastra’ seperti lupa diri.
Mereka terus menerus menguras energinya untuk menulis dan hal ini tidak
hanya terjadi pada rubrik fiksi. Dalam pengamatan kita sangat tidak
terpungkiri bahwa semua rubrik yang ada di Kompasiana sedang mengalami
fase kritis yakni krisis kata-kata. Padahal setiap tulisan yang akan
ditayangkan sejatinya harus lebih memperhatikan pemakaian kosa kata.
Bukankah media seperti jurnalis warga Kompasiana bisa menjadi ajang bagi
kita untuk saling mengasah diri dalam menggunakan kata demi kata serta
kalimat demi kalimat dengan cara yang baik dan benar ?
Belantara Sastra di Kompasiana Sedang Menggali Lubang Kuburannya ?
Penulis karya sastra yang terus menerus menguras energinya untuk
menghadapi derasnya keinginan syahwat menulisnya seakan telah menistakan
dirinya untuk masuk dalam wilayah persaingan asal tulis. Kita bisa
melihat bahwa kenyataan yang sedang terjadi demikian adanya. Kita
diperhadapkan dengan situasi yang sangat terbuka. Perang kata-kata yang
sangat melampaui batas telah menjadi ajang pembodohan diri. Setiap
tulisan dan komentar telah menjadi semacam penistaan diri dan hal ini
sangatlah merendahkan harkat dan martabat kemanusiaanya secara insani
yang pernah melalui sebuah pendidikan sosial kemasyarakatan. Akibat dari
persoalan mentalitas ? Bukankah hal ini telah sangat merendahkan harga
diri penulisnya ?
Selanjutnya jika kita tidak bersegera diri melakukan koreksi dan
merekonstruksi diri dalam setiap penggunaan kata-kata. Kematian akan
menjadi alamat yang tepat bila karya tulis maupun komentar baik itu pada
rubrik sastra maupun rubrik yang lainnya. Karya tulis tidak mesti
berada dalam wilayah akumulasi persoalan yang berada dihadapan
masing-masing pelaku. Bukan pula oleh sebuah budaya seolah-olah
bersastra itu sudah selesai ketika pujian atau penghargaan telah berada
digenggaman. Jika hal ini masih juga terjadi mungkin kita akan
melepaskan kebanggaan memiliki bahasa Indonesia yang indah dan penuh
dengan tata krama kesopansantunan.
Bahasa Indonesia (kesusastraan) yang baik dan benar tidak harus berhenti
pada satu persoalan akibat dari pembodohan diri kita. Jangan sampai
akibat dari kebodohan itu semakin membuat kita kehilangan kepercayaan
diri untuk hidup bersama-sama dari sebuah realitas yang ditumbuhkan oleh
sastra tersebut. Karena hidup telah memiliki pemaknaan yang material.
Seharusnya pemasok-pemasok karya sastra di Kompasiana (rubrik fiksi
maupun yang lainnya) bisa menjadi motor bagi berlangsungnya sikap kritis
terhadap pertumbuhan sastra yang tidak dilihat hanya dari sebuah
persoalan “kontekstual” semata. Belantara kata-kata di jagad Kompasiana
dalam semakna kata tidak cukup pula jika dipahami ala kadarnya. Karena
kata-kata yang tersurat maupun yang tersirat adalah guru bagi
pembacanya.
Akhirnya, dikekinian penulis karya sastra sudah seharusnya menyadari dan
kembali pada realitas aktual yang memiliki substansi kreatif dengan
tetap mempertahankan kesantunan serta tata krama dalam menulis yang mana
sesungguhnya setiap tulisan yang lahir dari kemerdekaan gagasan
berfikir dari penulisnya ada pelibatan insan lain didalamnya. Perspektif
sastra seharusnya lebih disorot pada sumber-sumber energi yang melekat
dalam tubuh kita sendiri untuk digali dan dijelajahi dengan sikap yang
lebih progresif. Inilah bagian paling utama dari konsekuensi logis
kekritisan daya hidup dalam sastra tersebut. Meskipun harga yang harus
kita beli untuk mempertahankan kata-kata yang santun dan
berperikemanusiaan sangat mahal. Namun, apapun juga persoalannya asupan
vitamin dan gizi yang cukup adalah sebuah pola hidup dan sikap
mempertahankan kesehatan jagad belantara kata-kata secara lahir bathin
dalam berkompasiana.
Mari menulis dengan santun. Mari berkomentar dengan takzim terhadap
setiap tulisan yang melintas dengan cepatnya di jagad Kompasiana. Karena
bagiku, aku lebih suka memelihara ujung lidahku agar tidak terlontar
kata yang menyakitkan. Karena bagiku, aku lebih suka menjaga setiap
goresan ujung penaku agar tidak melukai hati setiap pembacanya. Karena
bagiku, aku lebih suka menjaga harimau yang sedang tidur nyenyak
dihatiku. Sungguh aku takut harimau hatiku terbangun bukan pada saat
yang tepat. (arrie 22022011)
Salam Kompasiana !